Smart city study on Indonesian city – 1


Teknologi merupakan ilmu terapan yang tentunya harus melihat dari sudut pandang objek yang diterapkan. Kalimat ini membuka tulisan saya tentang ide terwujudnya smart city di Indonesia.

Sebelum masuk ke bahasan tersebut, saya ingin menceritakan pengalaman saya tentang cerita penerapan E-KTP yang pada tahun 2009 saya pernah terlibat di dalamnya walaupun hanya sebagai engineer bukan sebagai penentu kebijakan. E-KTP merupakan proyek ambisius dan penting pada ketahanan suatu negara karena pada proyek ini diambil data-data penduduk yang penting untuk kebutuhan penentuan kebijakan di seluruh bidang. Namun penerapan E-KTP saya bisa katakan tidak maksimal karena kita langsung menerapkan apa yang sudah diterapkan di negara maju di negara ini tanpa kajian kondisi dan dampak. Terlepas dari kasus korupsi yang terjadi, saya melihat sendiri ada beberapa pemaksaan spesifikasi dan kebutuhan tanpa melihat keadaan Indonesia secara umum. Dalam kasus E-KTP saya melihat sendiri betapa daerah-daerah belum siap untuk melaksanakan hal ini bahkan untuk beberapa hal kondisi alam tropis, sosial, politik, dan demografi indonesia bisa menjadi antitesis dari apa yang diterapkan di negara maju.

Teknologi bukan berarti menaruh infrastruktur dan semua layanan akan berjalan namun juga harus dipikirkan dampak yang ingin dirasakan oleh masyarakat. Jika kita memandang teknologi maka sudah seharusnya kita tidak menjadi latah dan menyebutkan jargon-jargon sehingga kehilangan maknanya. Seorang engineer harus mampu mendefinisikan terminologi dalam suatu kondisi sehingga cocok dengan objek, hal ini merupakan langkah awal dari rekayasa. Smart city di Indonesia pasti akan jauh berbeda definisinya dengan smart city yang biasa didengungkan di negara maju. Hal ini yang saya pelajari di kasus E-KTP, kita harus kembali menanyakan pertanyaan, apa yang kita butuhkan? Apa tujuan dari penerapan teknologi ini? Bukan sekedar mengejar ketertinggalan tapi justru memperoleh manfaat dari suatu penerapan teknologi yang sesuai dengan kondisi suatu kota.

Kajian tentunya akan melibatkan beberapa ahli dan smart city adalah kajian yang luas jika kita harus menelaah tiap bidang. Namun bagaimana jika kita telaah dari satu sisi yaitu demografi penduduk. Dengan melihat demografi kita akan memperoleh data bagaimana kondisi exisiting susunan penduduk. Kita ambil satu komponen yaitu ekonomi, data ekonomi penting untuk menentukan daya beli dari daya beli kita bisa lihat satu contoh jika dalam smart city kita akan meminta masyarakat membayar layanan atau bahkan membeli perangkat kita bisa lihat berapa yang mempunyai daya beli tersebut. Dari data ini saja jangan-jangan kita tidak bisa menerapkan smart city berbasis layanan berbayar atau jika kita minta masyarakat mengunggah data via smartphone ternyata hanya 50% yang bisa membeli smartphone sehingga tujuan smart city sebagai repositori data berkurang keakuratannya. Jika hasil studinya seperti itu mungkin memang model smart city yang digunakan bukanlah model crowdsourcing tapi model satuan tugas dengan menerapkan teknologi di instansi terkait dengan menyiapkan perangkat dan SDM-nya.

[Bersambung..]


Leave a Reply